Senin, 05 September 2011

Meurukon: Kolaborasi Antara Seni Dan dakwah

Meurukon, sebuah tradisi yang hidup dalam budaya masyarakat Aceh. Kehadirannya tidak terlepas dari budaya kehidupan masyarakat Aceh yang Islami. Dalam tradisi Meurukon, antara irama dan pesan agama di kolaborasikan menjadi satu yang dinamakan “Meurukon”.
 
Tidak banyak generasi muda Aceh yang mengetahuinya atau bahkan mengerti bagaimana sebuah kesenian  Meurukon tersebut. Tradisi yang akrab dalam keseharian masyarakat Aceh Tempoe Doeloe itu, kini mulai jarang terlihat pementasanya. Utamanya di wilayah perkotaan. Sedangkan di wilayah perkampungan pedalaman Aceh, tradisi itu masih terpelihara meski pelaksanaannya terkadang harus ada momen-momen tertentu.
 
Sebagimana tercatat dalam literaratur sejarah kebudayaan masyarakat Aceh, bahwa Meurukon itu adalah sebuah seni yang Islami dalam keseharian masyarakat. Meurukon bukanlah sebuah paguyuban atau kelompok masyarakat. Melainkan sebuah kesenian yang bentuknya berkelompok (kafilah), materinyapun adalah persoalan agama yang kemudian disampaikan dalam bentuk syair yang sangat spontanitas.
 
Kata-kata Meurukon sendiri jika ditilik dari segi bahasa Aceh. “Meu” adalah kata penghubung terhadap suatu persoalan yang sifatnya kepada perbuatan. Sedangkan “Rukon” itu sendiri adalah arti daripada Rukun. Maka dalam kesenian ini, materi yang dibahas atau dibawakan, semunya lebih dititik beratkan pada pembahasan soal keagamaan.
   
Kesenian Meurukon itu sendiri biasanya dilakukan di meunasah atau surau. Waktu pelaksanaannya pada malam hari sehabis waktu shalat Isya hingga berakhir larut malam atau bahkan menjelang subuh.
 
Pada kesenian Meurukon itu, para peserta bukanlah dua atau tiga orang. Melainkan dilakukan secara berkelompok. Tiap kelompok di sebut dengan Kafilah. Tiap-tiap kafilah bisa terdiri dari lima orang atau lebih, yang dipimpin oleh seorang yang disebut dengan syech yang kapasitasnya pengetahuan agamanya lebih dari anggota kelompok lainnya.  Dalam sebuah ajang bisa jadi terdapat dua kelompok atau tiga kelompok.
 
Tiap anggota kelompok duduk secara bersila secara terpisah disudut-sudut dinding meunasah. Awal mula pelaksanaan kesenian Meurukon, diawali dengan Khutbah Rukon. Setiap syeh menyampaikan mukaddimah (kata-kata perkenalan atau pembukaan kelompoknya), kepada para penonton dan kelompok lainnya.
 
Setelah khutbah rukon, syeh kuna akan mengajukan beberapa pertanyaan pembuka kepada tiap kafilah secara bergiliran. Syeh kuna akan menilai tingkat kebenaran dan rincian jawaban masing-masing kafilah. Untuk selanjutnya syeh kuna tidak lagi mengajukan pertanyaan. Pertanyaan selanjutnya akan diajukan oleh satu kafilah ke kafilah lain.
 
Materi yang di disampaikan oleh tiap kelompok sudah tentu persoalan agama. Pada saat berlangsungnya kegiatan. Acara akan dinilai oleh beberapa orang hakim yang disebut dengan “Syeh Kuna”. Peran syeh kuna itu sangat penting, apabila tidak ditemukan jawaban atau sama-sama dianggap benar. Maka syeh Kuna inilah yang menjawabnya dengan berdasarkan dalil-dalil agama yang kuat. Dalam menanyakan penilaian kepada syeh Kuna pun, dilakukan dengan bersyair.  Seperti,
 
Tengku ka meunan kamoe ka meuno
Bak masalahnyo bek ta meudawa
Wahe teungku guree dikamoe
Lon pulang jinoe nibak syeh Kuna
 
 
Selanjutnya, Syeh Kuna akan menjawab pertanyaan berdasarkan dalil-dalil agam yang ada sesuai dengan pertanyaan atau materi pembahasan yang dibahas. Terkadang, untuk satu masalah saja, butuh waktu yang lama untuk membahasnya. Tentu semua proses dalam kesenian Meurukon ini, di sampaikan dalam bentuk irama syair.
 
Selain itu, kemampuan syeh pada tiap kelompok dalam membangkitkan radat atau irama sangat berpengaruh terhadap performa suatu kafilah yang dipimpinya. Bahkan, suasana Meurukon itu akan terasa hidup saat suara sang syeh yang merdu mampu membangkitkan semangat kelompoknya dan bisa membius penonton. Apalagi nadanya dikolaborasikan dengan berbagai irama religi. Tiap mengajukan dan menjawab pertanyaan oleh syeh tersebut, akan diikuti oleh anggota kelompoknya yang lain.
 
Menurut salah seorang mantan seniman Meurukon tempo dulu Saiful Bahri (55), mengatakan, bahwa dulu dirinya sewaktu masih muda dan masih menetap di desanya di Matang Geulumpang Dua, Bireun, sering mengikuti acara kesenian Meurukon dan seni jenis tersebut begitu hidup di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya kalangan tua saja menyukai kesenian itu, kaum muda juga tak kalah sukanya.
 
Terkadang kafilah desanya sering diundang ke desa lain untuk Meurukon. Begitu juga sebaliknya, bila kafilah Meurukon di desanya dianggap mampu. Mereka akan mengundang kafilah desa lain untuk bertanding.
 
Kafilah yang dianggap menang adalah, bila mampu menjawab banyak pertanyaan dari kelompok lain dan memiliki irama yang bagus di saat menjawab atau menanyakan sesuatu persoalan.
 
Sewaktu, kesenian Meurukon begitu mendapat tempat pada zamannya, orang akan berbondong-bondong menyaksikan kesenian itu. Apalagi, bila ada kafilah Meurukon yang sudah mempunyai nama. Pasti akan menyedot penonton yang banyak.
 
“Contohnya, seperti grup Meurukon Syeh Hasan Kati dari Bungkah, Aceh Utara. Bila ada kelompok itu, orang akan berbondong-bondong menyaksikannya. Karena kelompok itu, banyak menguasai materi dan ada sekitar 100 jenis irama,” ungkap Saiful.
 
Disebutkan juga oleh mantan seniman Meurukon itu, biasanya persoalan pertama yang dibahas adalah Bismillah kemudian masalah Fiqih, Tauhid hingga sifat wajib dan mustahil bagi Allah SWT.
 
“Pembahasan suatu masalah juga sampai ke akar-akarnya, seperti masalah wudhuk, dibahas hingga ke masalah air yang boleh berwudhuk secara detil. Sehingga, para penonton pun selain disuguhi dengan irama-irama yang indah, juga mendapat tambahan pengetahuan agama.   
 
Begitulah, gemerlapnya kehidupan seni Meurukon kala itu. Hampir seluruh surau atau meunasah yang ada di kampung-kampung di wilayah Aceh pesisir terdengar suara orang Meurukon yang mengisi waktu malam mereka. 
 
Namun kini, jarang terdengar ataupun terlihat orang meurukon. Bila adapun, jika ada momen-momen tertentu. Serta bertempat di desa-desa pedalaman Aceh.
 
Jika ditilik dari kesenian Meurukon ini, tentu sangat kental dengan nuansa keislamannya. Apalagi dalam budaya masyarakat Aceh, adat istiadat atau kesenian lainnya. Pasti ada pesan keagamaan yang tersirat dan tersurat di dalamnya.
 
Dalam kesenian Meurukon itupula, antara persoalan agama yang penyampaiannnya dibungkus dengan irama religi menjadi suatu kolaborasi kesenian yang indah. Tentu saja kesneian Meurukon ini, menjadi suatu indenditas kebudayaan Aceh yang Islami.
 
Sebuah makna lain yang terkandung dari kesenian Meurukon ini adalah, menjadi suatu media edukasi bagi masyarakat luas dalam bidang pendidikan keagamaan.  Bisa dikatakan, Meurukon tersebut, ibarat kuliah umum bagi masyarakat.
 
Karena hampir bisa dipastikan, tiap digelarnya tradisi Meurukon, masyarakat berbondong-bondong menyaksikannya. Tidak hanya kalangan lelaki saja melainkan juga kaum ibu-ibu.
 
Mereka rela, begadang semalam suntuk hanya untuk melihat dan mendengarkan suara merdu para syeh dalam mengumandangkan syair-syairnya.  Selain puas dengan keindahan irama dan merdunya suara  para para syeh. Para penonton pun secara langusng telah mendapat pelajaran agama.
 
Sungguh Meurukon itu, mengandung suatu makna filosofis tinggi hasil dari karya besar oleh para endatu kita dulu, dalam mensyiarkan agama secara luas kepada masyarakat berseni sambil berdakwah.
 
Di dalam kesenian Meurukon itupula, tercermin suatu nilai kekompakan  didalam melahirkan sebuah nilai keindahan pula. Hal itu, mengambarkan bahwa saling kompak dan bersatu dan saling mendukung, akan menghasilkan sebuah kekuatan besar untuk mencapai suatu tujuan.
 
Sama seperti watak orang Aceh tempo dulu, yang dikenal bersatu dan berani dalam menentang berbagai penjajahan di bumi Aceh. Sehingga, bisa dikatakan pula, bahwa kesenian Meurukon itu adalah hasil keseharian masyarakat yang telah membudaya dalam kehidupan sehari-hari.
   
Melihat Meurukon adalah sebuah warisan budaya, maka sudah saatnya para pengambil kebijakan (pemerintah), pegiat seni dan juga seluruh masyarakat Aceh, harus menjaganya dan mengembangkannya seperti seni-seni lainnya dalam literatur kebudayaan Aceh.
 
Supaya kelak, seni Meurukon, masih ada dalam daftar kesenian Aceh sama seperti tari Seudati, Saman dan lain sebagainya. Sehingga, tak hilang begitu saja warisan dari para pendahulu di negeri berjuluk “Serambi Mekkah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar